31 Agustus 2015. Saat perjalanan pulang dari kampus ke rumah, seperti biasa aku sering lewat depan SMPN 4 Waru. Bertepatan jam pulang sekolah, jalanan jadi padat, otomatis kecepatan motor ku turunkan. Ngeliat adek-adek berpakaian putih-biru yang wajahnya masih unyu cakep-cakep, seketika pikiranku terbang ke beberapa waktu silam *duh, pakai kata 'silam' berasa tua banget, flashback versi hitam-putih, haha
Aku masih ingat, sekitaran tahun 2005 kalau aku benar, mungkin masih kelas VII (tujuh), aku dan beberapa teman yang sepedanya tanpa disengaja sama bercorak batik, kompakan pulang bareng. Mengayuh sepeda masing-masing dan berbaris dua-dua. Aku dengan Farida, Nina dengan Bilqies. Ya Allah, itu 10 tahun yang lalu, hahahaa kangennyaaa. Kita--aku dan ketiga teman baikku--selalu satu kelas sejak masih MI hingga lulus SMP. Bahkan Nina dan Farida adalah teman sejak TK. Saat SMP kita juga kompak ikutan ekstra PMR (Palang Merah Remaja). Begonya aku, dulu belum punya keberanian untuk daftar sendirian ekstra kulikuler yang sangat aku idamkan. Jaman alay sih ya, kalau nggak ada teman dekat yang ikutan daftar ya batal daftar deh. Dulu aku nggak daftar ekstra basket dan tapak suci, padahal tontonanku sejak kecil ya film yang berbau dua hal itu. Basket dan martial art. Dua hal impian yang belum terpenuhi saat itu. Nyesel.
Back to kisah pulang sekolah. Selama perjalanan pulang, kita sambil ngobrol-ngobrol seru. Adaaa saja hal yang bisa jadi topik perbincangan, entah itu ngobrolin teman, ngobrolin kelas sebelah, ngobrolin karakter guru, apapun. Dan saat itu yang kita obrolin adalah kakak kelas cowo. Kita mengenalnya sebagai senior pramuka. Yang membantu membimbing kita--adik kelasnya--yang unyu-unyu ini. Kita bukan ngobrolin ke-keren-nannya saat memimpin, bukan, bukan itu. Kita ngobrolin dia karena dia membalap kita, mengayuh sepeda dengan sangat bergaya, kakean polah lebih tepatnya. Ngebut sambil nyleot-nyleot belok kanan belok kiri.
Tiba-tiba... BRAKK!!
Wah, Si kakak kelas jatuh. Jatuh begitu saja, tidak ditabrak dan tidak menabrak. Jatuh tepat di tengah jalan. Sangat tepat. Tapi sepertinya dia tidak terluka. Mungkin lecet, entahlah. Anehnya, kita berempat, cuma melewati tuh kakak kelas sambil memperhatikannya tanpa ekspresi. Iya, benar-benar tanpa ekspresi. Aku dan Farida melewatinya dari kanan jalan, Nina dan Bilqies dari kiri jalan. Sungguh tega dan tanpa dosa. Setelah beberapa meter baru kemudian kita sadar dan berdialog. Lupa dialognya, tapi intinya seperti ini:
"Hei, kita kok nggak ngebantu mas itu, sih? Kan kita anak PMR," salah satu temanku nyeletuk.
"Iya, ya? Kok kita tega banget ya nggak bantu? Malah kita melewatinya begitu saja," yang lain menimpali.
"Abisnya dia jatuh tiba-tiba banget sih," yang lainnya merespon.
"Salah sendiri kebanyakan gaya. HAHAHA." Entah ini yang ngomong siapa? Apakah batinku?
Intinya, nggak usah kebanyakan gaya untuk terlihat keren, nanti jatuh ketimpa duren, malu meeeeen! HAHAHA *statement jahat*.
Lamunanku pun buyar. Pulang kuliah sambil senyum-senyum. Terima kasih, kakak kelas. Atraksimu dulu benar-benar memberiku kesimpulan yang berubah menjadi prinsip. Tetap sederhana, nggak perlu kebanyakan gaya. *pose Yeop Chagi* :p
Aku masih ingat, sekitaran tahun 2005 kalau aku benar, mungkin masih kelas VII (tujuh), aku dan beberapa teman yang sepedanya tanpa disengaja sama bercorak batik, kompakan pulang bareng. Mengayuh sepeda masing-masing dan berbaris dua-dua. Aku dengan Farida, Nina dengan Bilqies. Ya Allah, itu 10 tahun yang lalu, hahahaa kangennyaaa. Kita--aku dan ketiga teman baikku--selalu satu kelas sejak masih MI hingga lulus SMP. Bahkan Nina dan Farida adalah teman sejak TK. Saat SMP kita juga kompak ikutan ekstra PMR (Palang Merah Remaja). Begonya aku, dulu belum punya keberanian untuk daftar sendirian ekstra kulikuler yang sangat aku idamkan. Jaman alay sih ya, kalau nggak ada teman dekat yang ikutan daftar ya batal daftar deh. Dulu aku nggak daftar ekstra basket dan tapak suci, padahal tontonanku sejak kecil ya film yang berbau dua hal itu. Basket dan martial art. Dua hal impian yang belum terpenuhi saat itu. Nyesel.
Back to kisah pulang sekolah. Selama perjalanan pulang, kita sambil ngobrol-ngobrol seru. Adaaa saja hal yang bisa jadi topik perbincangan, entah itu ngobrolin teman, ngobrolin kelas sebelah, ngobrolin karakter guru, apapun. Dan saat itu yang kita obrolin adalah kakak kelas cowo. Kita mengenalnya sebagai senior pramuka. Yang membantu membimbing kita--adik kelasnya--yang unyu-unyu ini. Kita bukan ngobrolin ke-keren-nannya saat memimpin, bukan, bukan itu. Kita ngobrolin dia karena dia membalap kita, mengayuh sepeda dengan sangat bergaya, kakean polah lebih tepatnya. Ngebut sambil nyleot-nyleot belok kanan belok kiri.
Tiba-tiba... BRAKK!!
Wah, Si kakak kelas jatuh. Jatuh begitu saja, tidak ditabrak dan tidak menabrak. Jatuh tepat di tengah jalan. Sangat tepat. Tapi sepertinya dia tidak terluka. Mungkin lecet, entahlah. Anehnya, kita berempat, cuma melewati tuh kakak kelas sambil memperhatikannya tanpa ekspresi. Iya, benar-benar tanpa ekspresi. Aku dan Farida melewatinya dari kanan jalan, Nina dan Bilqies dari kiri jalan. Sungguh tega dan tanpa dosa. Setelah beberapa meter baru kemudian kita sadar dan berdialog. Lupa dialognya, tapi intinya seperti ini:
"Hei, kita kok nggak ngebantu mas itu, sih? Kan kita anak PMR," salah satu temanku nyeletuk.
"Iya, ya? Kok kita tega banget ya nggak bantu? Malah kita melewatinya begitu saja," yang lain menimpali.
"Abisnya dia jatuh tiba-tiba banget sih," yang lainnya merespon.
"Salah sendiri kebanyakan gaya. HAHAHA." Entah ini yang ngomong siapa? Apakah batinku?
Intinya, nggak usah kebanyakan gaya untuk terlihat keren, nanti jatuh ketimpa duren, malu meeeeen! HAHAHA *statement jahat*.
Lamunanku pun buyar. Pulang kuliah sambil senyum-senyum. Terima kasih, kakak kelas. Atraksimu dulu benar-benar memberiku kesimpulan yang berubah menjadi prinsip. Tetap sederhana, nggak perlu kebanyakan gaya. *pose Yeop Chagi* :p